Semoga Buku Cetak Tidak Senasib Kaset Lagu   Leave a comment


Dear,

22104383_10211105364850263_4153426828818909142_o

Saya suka membaca, karenanya saya menyukai buku. Kesukaan saya pada buku melebihi daya kebertaklukan saya kepada hasrat jajan makanan. Meskipun saya suka makanan dan camilan, jika pada kesempatan yang sama ada buku sebagai opsi pilihan, maka dipastikan saya akan memilih buku — mengesampingkan makanan yang melambai-lambai menghiba meminta saya pilih.

Bersama dengan buku, bisa membuat saya berbetah berlama-lama terlarut dalam keasyikan baca. Asyik ? Ya, sangat mengasyikkan. Dengan membaca selain memanjakan mata dan batin saya saat meresapi nikmatnya menu literasi yang disajikannya, pada saat yang sama di kesempatan membaca saya pun bisa menggapai kenikmatan ragawi yang luar biasa. Saya bisa merasakan betapa nikmatnya menghirup aroma harum kertas buku, merasai halusnya bulu-bulu lembut kertas, menikmati ujung jemari saya mempermainkan sisi-sisi kertas buku yang masih tajam, membiarkan jemari saya mengusap-usap sudut-sudut kavernya demi mempertahankan menghindarkannya dari menjadi terbelah dan tumpul — benar-benar saya rasakan ekstase yang luar biasa dibuatnya.

Memang tidak dipungkiri, kehadiran buku-buku kertas — yang semakin hari semakin banyak ini — membutuhkan ruang yang cukup untuk menampungnya dengan layak agar selalu terjaga baik kondisi fisiknya. Lalu timbul pertanyaan, mengapa saya tidak mengalihkan saja minat membaca dan selera saya kepada buku-buku digital (e-book) ? Lebih ringkas dan efisien — lebih mobile, pastinya.

Sebagaimana telah saya sampaikan di awal tulisan, saya sangat menikmati bersentuhan dengan fisik buku kertas. Namun sesungguhnya ada hal lain yang tidak kalah penting, dan menurut saya ini prinsipil. Melalui buku kertas (printing), saya bisa merasakan secara pribadi kehadiran ruh dari penulisnya yang hadir, dan saya pun bisa merasakan mengalami keterlibatan saya dalam kisah buku yang sedang saya baca — merasa seperti berada di antara para tokohnya yang sedang berkonflik. Entah mungkin karena dengan buku cetak, saya bisa memilih spot dan posisi baca senyaman saya — beda dengan saat saya membaca buku digital, dimana mata dan tubuh saya yang harus menyesuaikan diri dengan perspeksi layar gawai pemuat buku digital — masuk akal bila saya merasa ditarik masuk ke dalam kisah buku.

Namun akhir-akhir ini saya sedikit terusik dengan munculnya pemberitaan tentang bergugurannya nama-nama besar media pewarta, yang harus ikhlas menggulung tikar usahanya yang telah berpuluh tahun berkiprah — disebabkan pergeseran selera menuju digital.

Atas fenomena tersebut, disamping kekuatiran akan semakin terkikis menuju punahnya buku-buku cetak sebagaimana kaset-kaset pita lagu yang keberadaannya kini tidak lagi terendus  berikut kemegahan toko-tokonya yang di masanya begitu gemerlap indah menghiasi sudut-sudut pusat perbelanjaan, saya juga kuatir kebanggaan dunia literasi akan turut punah. Tidak ada lagi bukti fisik kekayaan intelektual dari seorang penulis yang dengan segala kebanggaannya menjadi saksi buku-bukunya dicetak ulang oleh penerbit, membanjiri pasar sesuai segmennya.

Saya memiliki beberapa buku digital (e-book) yang tersimpan di flash  disk. Namun sungguh, saya tidak bisa merasakan kebanggaan menyimpannya. Dengan buku digital saya tidak bisa sekaligus menyimpan nilai sejarah dari buku tersebut. Saya tidak bisa merasakan bahwa buku itu benar-benar buku yang usianya sudah tua dan langka di pasaran. Semuanya terbenam dalam benda kecil yang namanya falsh disk.

Ide penulisan ini pun lahir tatkala saya sedang menikmati memandangi susunan buku yang tertata di rak utama buku saya, menempatkan koleksi buku baru ke dalamnya, dan menarik memindahkan lokasi simpan untuk buku-buku lama yang sudah selesai saya baca.

Sungguh indahnya rasa tatkala menikmati secara ragawi buku-buku.

 


 

Salam

Ben Sadhana 

 

Sumber gambar dari koleksi pribadi

 

Posted Oktober 6, 2017 by Ben Sadhana in Apresiasi, Jurnal

Tagged with , , , ,

Tinggalkan komentar